Semua kejadian yang ada di sekitar kita. Semua kejadian yang melibatkan manusia, ketika berurusan dengan KRL maupun tidak. Silakan follow twitternya @SlametKereta

Minggu, 13 November 2011

Egois

Kalau dari beberapa diskusi dengan teman-temannya, Slamet mendapat kesimpulan bahwa kemacetan di jalan raya justru karena keegoisan. Kok bisa begitu? Sekarang, coba kita lihat beberapa teman kita di kantor. Mereka bawa mobil ke kantor kan? Sendirian berangkat ke kantor, sendirian pula pulang ke rumah.

Cukup jauh padahal, tapi ya tetap saja mereka tempuh itu sendirian. Setiap hari. Padahal kan satu mobil bisa dimuat antara 4 orang (sedan) sampai 6 atau 8 orang (untuk mobil minibus seperti Kijang). Itu berarti kalau ada 4 orang yang bisa semobil, jadinya malah ada 4 mobil atau bahkan 8 mobil dengan satu penumpang di dalamnya. Berarti kemacetan bisa berkurang hingga 1/4 atau bahkan 1/8 ya?

Gak semudah itu. Kata orang-orang yang bepergian sendiri dari dan pulang kantor. Kan selama siang hari ada 4 sampai 8 keperluan berbeda. Benar juga, kata Slamet. Tapi teman-temannya Slamet malah ngotot. Okay, keperluan. Pekerjaan? Atau makan siang? Masak makan siang harus ke 4 tempat yang berbeda.

Atau katakanlah ada 4 sedan yang sama-sama berisi 4 orang setiap berangkat kantor. Ke kantor yang sama, jadi ada 16 orang. Tapi siang hari, 4 orang yang semobil ketika berangkat, berpencar, tapi bergabung dengan orang-orang dari mobil lain. Kan tetap aja bisa jadi 4 mobil masing-masing 4 orang?

Nah, itu yang kata teman-teman Slamet sebagai egois. Kan kalau cuma urusan makan, bisa ngikut. Atau paling gak, toh gak selalu tempat makan itu berada jauh dari kantor, sehingga harus menggunakan mobil. Jadi ya udah, bergabung aja lah.

Tapi kan kami gak tau siapa aja yang menuju arah yang sama?  Tiba-tiba teman-teman Slamet tertawa terbahak-bahak. Udah tau nebeng.com kan? Semua info ada di sana tuh. Dari mulai yang cari pemberi tumpangan (cari pemberi tebengan) atau cari penebeng. Yang cari pemberi tebengan, adalah orang yang ingin ikut kelompok rute yang sesuai dengan rutenya ke kantor. Yang cari penebeng, berarti dia mau bawa mobilnya dan mencari teman yang serute.

Biasanya seluruh penumpang akan bersepakat bagaimana cara membayari seluruh biaya yang timbul, bbm maupun tol. Jadi semua bisa disolusikan dengan mudah. Kenapa juga harus menggunakan satu kendaraan sendirian. Selain menghemat, juga ikut mengurangi kemacetan.

Jadi, ada masalah lain lagi? Seharusnya gak ada, kalau semua orang mengurangi keegoisannya. Bahkan bagi para calon penebeng, bisa memilih bukan hanya rute, tetapi mobil yang akan ditebengi. Tentu saja beda pemberi tebengan, beda iuran yang ditetapkan.

Selain dari situs tadi, ada kombeng.com yang juga berkaitan dengan tebeng menebeng kendaraan untuk pergi dan pulang kerja. Jadi kalau masih ingin membawa kendaraan sendiri, kenapa juga gak mendaftarkan diri untuk menjadi pemberi tebengan.

Ada teman Slamet yang bilang bahwa jadi pemberi tebengan beresiko menerima penebeng yang kriminal. Oh ya? Berarti perlu menggunakan nomer telpon prabayar. Toh ketemu pertama ketika berangkat kantor, masih pagi dan ramai orang. Kalau masih khawatir, sebelum mulai memberi tebengan, pastikan ada teman yang berangkat dari rumah. Sehingga penebeng kriminal gak bisa sembarangan.

Gimana dengan privasi? Ayolah. Kan selama ini mengemudi sendiri, gak ada hal privasi yang dilakukan selama mengemudi. Baca dokumen kantor? Gak bisa kalau lagi nyetir. Ngobrol di ponsel? Juga gak bisa di keramaian jalanan. Jadi privasi apalagi?

Bahkan nebeng bisa memperluas pergaulan. Toh kita satu saat butuh informasi, butuh bantuan, butuh banyak hal lain yang mungkin bisa didapat dari komunitas nebeng ini, kan? Bahkan kata Slamet, dibukunya Bill Gates , Business is in The Speed of Thought, di Microsoft sudah ada komunitas nebeng. Setiap pegawai baru akan diberikan informasi tebengan dari area rumahnya ke kantor.

Jelas-jelas gak ada seorangpun pemilik kendaraan pribadi di Jakarta yang sekaya Bill Gates. Jadi masalahnya bukan pamer kekayaan kalau begitu, pamer kebodohan mungkin ya? Atau pamer keegoisan? Atau pamer kesombongan? Wah, Tuhan dikemanain tuh?

Berarti di kendaraan umum, gak ada orang egois dong, Met? Gak juga. Masih ada juga orang egois. Contohnya orang-orang yang berdiri di pintu keluar kendaraan umum, padahal jelas-jelas dia turun di perhentian (terminal/stasiun) terakhir. Mengapa juga dia gak beringsut agak masuk agar yang turun lebih dulu, bisa leluasa.

Tapi mungkin karena di dalam juga padat, Met? Ah, Slamet pernah mengalami sendiri. Dua orang bapak naik di Stasiun Cikini, sore hari, ke kereta menuju Depok. Karena dua orang bapak itu, Slamet agak mundur sedikit. Toh di bagian kiri dan kanan pintu agak lowong. Sehingga dua orang bapak itu berdiri menutup pintu keluar gerbong.

Slamet toh turun di Stasiun Durenkalibata. Jadi, Slamet menduga kedua bapak itu akan turun di Stasiun Manggarai atau Tebet atau Cawang. Jadi setelah kedua bapak turun, Slamet akan bergerak ke pintu kereta. Eh, ternyata kedua bapak dari pembicaraannya akan turun di Stasiun Depok.

Luar biasa kan? Padahal melalui pengeras suara di gerbong, kondektur selalu memberi tahu, agar penumpang yang masih jauh ke tujuan untuk masuk dan tidak berdiri di dekat pintu keluar kereta. Jelas-jelas kedua bapak itu gak akan mau dibilang tuli atau bodoh, kan? Jadi mengapa mereka tidak mau beringsut agak ke dalam, padahal cukup lowong?

Ada juga yang lucu. Pernah sekali Slamet melihat seorang ibu tetap duduk padahal sudah diberitahu untuk berdiri dan berjalan ke dekat pintu karena sudah hampir sampai di Stasiun Cikini. Karena yang memberi tahu sedang berdiri di hadapan si ibu, dia tetap tidak mau berdiri.

Saat tiba di Stasiun Cikini, para penumpang yang berada di dekat pintu turun dan penumpang yang menunggu di peron naik. Ketika itu si ibu ingin buru-buru berdiri dan turun dari kereta. Jelas gak mungkin karena terdorong masuk oleh rombongan penumpang yang naik di Stasiun Cikini. Si ibu panik dan berteriak, padahal dia sudah diingatkan.

Egois? Entahlah. Yang pasti semua kejadian itu membuat Slamet bisa tertawa geli.

Berhitung

Slamet tertarik dengan promosi tiket abonemen KRL. Seru juga ya kalau gak perlu antri, langsung tunjukkan kartu atau tiket abonemen, terus masuk dan gak perlu dibolongin tiketnya.

Mulailah Slamet bertanya-tanya, tadinya. Sekitar bulan Februari 2011 Slamet dapat jawaban bahwa tiket abonemen nilainya Rp.274.000,- Ketika itu tiket Depok - Jakarta seharga Rp.5.500,-

Wah, itu berarti 50 x naik kereta ya? Padahal kan Slamet hanya naik kereta pergi dan pulang kantor. Kalau sebulan hanya ada 20 hari kerja, pergi dan pulang berarti hanya perlu 40 kali naik kereta. Berarti kalau gak abonemen, Slamet hanya perlu keluar uang Rp.220.000,- Kok jadi lebih mahal ya kalau abonemen?

Batallah Slamet untuk bergaya-gaya pegang tiket abonemen. Dan tetap saja Slamet memilih antri ketika sampai di stasiun dan menunggu dengan tenang kereta yang akan datang. Saat itu keretanya bernama AC Ekonomi.

Bulan September 2011 keretanya berubah menjadi Commuter Line. Tetap saja kereta AC Ekonomi seperti yang dinaiki Slamet sebelumnya. Bahkan katanya, kereta Pakuan yang dulu dinaiki orang-orang yang tinggal di Bogor dan hanya berhenti di Depok, Stasiun UI, Gambir dan Stasiun Jakartakota sejak itu juga menjadi Commuter Line.

Sepertinya orang yang biasa naik Pakuan juga tidak terlalu mengeluh. Slamet berhitung, ketika naik Pakuan mereka harus bayar Rp.11.000,- sekali naik. Kalau pergi dan pulang kantor, berarti mereka mengeluarkan Rp.22.000,- sehari. Kalau sebulan 20 hari kerja berarti mereka keluarkan Rp.440.000,-

Sejak berubah menjadi Commuter Line, orang-orang yang tadinya menggunakan Pakuan jadi membayar Rp.7.000,- sekali naik, Rp.14.000,- pergi dan pulang kantor. Berarti kalau 20 hari kerja, hanya keluar uang Rp.280.000,- per bulan. Berarti mereka menghemat pengeluaran Rp.160.000,- setiap bulan.

Jadi, kalau tadinya mereka hanya berhenti di beberapa stasiun saja, maka sekarang mereka berhenti di setiap stasiun yang dilewati kereta. Baiklah, penghematan sebesar tadi diganti dengan perjalanan yang jadi sedikit lebih lama. Mungkin tidak mengapa. Atau karena memang tidak ada pilihan lain ya?

Sepertinya ada yang lebih seru nih. Karena Slamet tidak berangkat dari Bogor maka apa yang dikatakan orang Bogor tentang KRL gak terlalu diperhatikannya. Yang menarik perhatian Slamet adalah tiket rute Depok-Jakarta, yang harus Slamet jalani dari tadinya Rp.5.500,- berubah menjadi Rp.6.000,-

Oh ya, sebelum jauh membingungkan pembaca. Kata Slamet, pagi hari dia berangkat dari Stasiun Duren Kalibata dan turun di Stasiun Gondangdia, rute sebaliknya ditempuh untuk pulang. Tapi KRL hanya menetapkan dua tarif: Bogor-Jakarta atau Depok-Jakarta. Karena rute Slamet ada dalam jarak Depok-Jakarta, maka Slamet menyebut tarif itu bukannya Kalibata-Gondangdia.

Yang lebih menarik perhatian Slamet adalah tarif abonemen rute Depok-Jakarta turun, saudara-saudara. Luarbiasa! Selama ini tidak pernah ada tarif yang turun di Indonesia. Hebat! Dan selama ini rute Depok-Jakarta memang tidak menggunakan kereta yang seperti Pakuan (berhenti hanya di beberapa stasiun saja). Benar-benar fenomena yang sangat, sangat, sangat jarang terjadi di tanah tercinta ini!

Turun dari Rp.275.000,- menjadi Rp.238.000,- Luar biasa sekali. Turun hingga Rp.27.000,- Tapi tunggu sebentar. 20 hari kerja, berarti 40 kali naik kereta. Kalau satu kali naik kereta harga tiketnya Rp.6.000,- berarti 40 kali naik kereta harga tiketnya total Rp.240.000,- Wah, hematnya baru Rp.2.000,- saja!

Slamet mencoba ngobrol dengan kondektur. Memang sih, hematnya sedikit kalau abonemen, tapi kan gak perlu ngantri. Jawaban yang hebat. Benar sekali! Tapi selama Slamet naik dari Stasiun Duren Kalibata setiap pagi di hari kerja, antrian paling panjang hanya 3 orang. Paling panjang! Lebih sering Slamet gak ngantri kalau mau beli tiket.

Oh, mungkin karena dari tengah ya? Lalu Slamet perhatikan, orang yang pulang ke Depok sering naik juga kereta menuju Bogor karena memang searah dan tidak dilarang untuk naik. Jadi mungkin di Depok yang antriannya panjang. Karena kalau mereka berangkat naik Depok-Jakarta, Depok kan jadi stasiun awal. Mungkin di sana antriannya panjang.

Slamet bertanya ke temannya yang pulang ke Depok. Apa iya orang Depok lebih suka tiket abonemen karena ngantri? Ah, hematnya cuma 2 ribu, Met. Ngantrinya juga gak panjang-panjang amat. Paling panjang yang cuma 10 orang. Belum lagi kalau berangkat dari Depok kan ada banyak kereta. Bisa aja naik dari yang dari Bogor, dari Bojong atau yang dari Depok.

Nah lho. Berarti sebenarnya semua orang yang bepergian di jarak antara Depok hingga Jakartakota sebenarnya yang paling banyak, karena mereka boleh naik rute Bogor-Jakarta, Bojonggede-Jakarta, atau Depok-Jakarta. Mereka diperhatikan dengan memberi keleluasaan memilih rute.

Bentar ya, tiket berlangganan itu kan dibeli di awal bulan, untuk dipakai selama sebulan ke depan? Berarti PT KAI atau Commuter Line terima uang dulu kan? Slamet mengingat-ingat langganan koran.

Ambil contoh Kompas, harga ecerannya Rp.3.500,- itu berarti kalau beli eceran selama 30 hari, harus membayar Rp.105.000,- Kalau berlangganan, dan bayar di muka untuk sebulan penuh hanya bayar Rp.78.000,- Itu berarti selisihnya sekitar Rp.27.000,- atau kalau dibandingkan eceran ya berarti sekitar 7 hari harga eceran.

Nah lho. Kok selisih harga eceran tiket Commuter Line hanya Rp.2.000,- dibanding abonemennya. Padahal harga ecerannya (sekali naik) Rp.6.000,- Slamet bingung. Apakah memang seharusnya nilai dua ribu itu ditambah gak ngantri di Depok berarti setara dengan 7 kali naik kereta ya? Apakah karena orang-orang Depok justru memang suka ngantri? Atau karena Slamet yang terlalu pintar berhitung?

Rabu, 09 November 2011

Perhatian

Tadinya Slamet tidak terlalu peduli bila kereta berdesak-desakan. Telinganya dia sumbat dengan earphone dan mengalunlah lagu-lagu pilihan. Dari mulai Shakira sampai Didi Kempot. Slamet memang broadband, pita seleranya lebar banget.

Begitu masuk gerbong kereta yang padat, Slamet langsung menyelinap ke tempat lowong yang berada jauh dari pintu. Memandang keluar pun sekedar mencari satu tempat yang paling dia hapalkan. Bioskop Metropole, karena itu berarti dia sudah berada dekat Stasiun Cikini. Ketika orang-orang turun di sana, Slamet akan beringsut ke pintu. Setelah itu, turun di Stasiun Gondangdia.

Beberapa kali, terlihat oleh Slamet ada orang yang berdiri sangat rapat ke orang lain. Tapi itu semua orang lain, karena di atas kereta, menurut Slamet, tampaknya semua orang egois. Tidak menyapa siapapun, dan jarang yang berbicara kepada orang lain. Karena itu pula Slamet memilih untuk tidak terlalu memperhatikan. Karena berdiri terlalu rapat, ketika menoleh, akan dikira dengan sengaja mengganggu.

Sampai suatu hari Slamet membaca koran tentang korban pelecehan seksual di busway. Bagaimana si perempuan berteriak karena melihat seorang lelaki dengan alat kelamin yang sudah keluar celana. Bukan hanya itu, rok si perempuan bahkan tertumpahi cairan sperma. Justru itu yang membuat si perempuan berteriak dan sebagai akibatnya si lelaki dipukuli orang banyak.

Ini bukan urusan dipukuli atau teriakan. Tapi apakah bisa melakukan hal itu di tempat yang padat? Itu justru yang menggelitik pikiran Slamet. Hingga satu saat Slamet berdiri tepat bertempelan dengan seorang perempuan, saking padatnya gerbong.

Barulah Slamet sadar bahwa godaan itu bisa terjadi. Apalagi kasus di busway yang dibaca Slamet perempuan yang menjadi korban bertubuh cukup seksi dengan pakaian yang cukup terbuka. Bukan, Slamet tidak ingin membela lelaki yang melakukan pelecehan seksual itu. Bukan pula sedang mengkritik cara berpakaian perempuan.

Slamet hanya sadar bahwa godaan itu bisa muncul. Maka di sinilah peran otak dan hati bermain. Otak yang menyimpan memori, bisa mengingat apa yang terjadi dengan para pelaku pelecehan seksual. Nurani membuat manusia mengingat, bagaimana bila perempuan yang dilecehkan itu adalah anak Anda, saudara Anda atau istri Anda.

Saat pertanyaan itu diajukan oleh nurani kepada otak, maka akan dapat jawaban; aku akan marah besar pada pelaku pelecehan seksual itu. Nah, godaan bisa ada di mana saja. Ada pemilik kios yang memberi uang kembalian yang lebih banyak dari seharusnya. Itu godaan. Ada makanan di sebelah saat Anda lapar. Itu godaan. Ada teman yang sudah selesai menjawab semua pertanyaan dalam ujian. Itu juga godaan.

Jadi, cukup untuk jadi perhatian, bahwa nilai Anda ditentukan seberapa baik Anda mengendalikan godaan yang muncul di hadapan Anda.

Perhatian, perhatian. Jalur 2 dari arah Selatan akan masuk commuter line tujuan Jakarta. Kepada para penumpang diminta untuk mempersiapkan diri. Dan, Slamet akan melanjutkan ceritanya lagi nanti....

Selasa, 11 Oktober 2011

Bingung

Setiap kali di stasiun kereta, Slamet melihat orang berlari-lari ingin naik kereta. Bahkan ketika masih jam 6 pagi. Slamet sering naik di Stasiun Duren Kalibata. Itu artinya kereta akan berhenti lagi di Cawang, Tebet, Manggarai, Cikini, Gondangdia, Gambir, Juanda, Sawahbesar, Manggabesar, Jayakarta dan terakhir Stasiun Jakarta Kota. Sisa 11 stasiun.

Banyak memang. Tapi rata-rata perjalan antar stasiun termasuk berhenti untuk turun dan nai penumpang, kurang dari 4 menit. Kalau ada 11 stasiun, maka paling lama ya cuma 45 menit, kan? Ini masih jam 6 lho. Berarti sebelum jam 7 pagi, mereka sudah sampai. Itu pun kalau tujuannya di Stasiun Jakarta Kota. Kan, jadi lebih cepat lagi kalau tujuan akhirnya Sawahbesar, misalnya.

'Met, mungkin mereka gak ngitungin se-njlimet kamu' kata suara hatinya. Slamet terangguk-angguk sendiri. Tapi, mereka kan kebanyakan pakai jam tangan, ya. Slamet melirik ke kiri dan kanannya di bangku peron. Benar, mereka menggunakan jam tangan. Jadi mengapa mereka tidak perhatikan jam berapa mereka berangkat dan jam berapa mereka tiba di tujuan? Sungguh membingungkan bagi Slamet.

Nah, mengapa juga Slamet bisa santai melihat-lihat kebiasaan orang lain? Tentu saja, karena Slamet naik di Stasiun Duren Kalibata dan turun di Stasiiun Gondangdia. Berarti dia hanya melewati 4 stasiun. Itu berarti total waktu yang dibutuhkan kurang dari 16 menit. Dan kantor Slamet hanya berjarak 6 menit jalan kaki mulai Slamet turun kereta.

Jadi Slamet bisa saja naik kereta yang datang sekitar 25 menit sebelum jam 8 pagi, kan? Karena masih banyak waktu untuk datang tanpa terlambat.

Slamet lebih bingung lagi, karena sedikit sekali orang yang melihat jam tangan tepat setelah turun dari kereta. Sebagian besar orang akan mengikuti arus keluar peron. Berbondong-bondong, berdesak-desakan. Sungguh  luar biasa, begitu semua menjadi pegawai, punya atasan, mendadak setiap manusia yang dilahirkan oleh ibunya mendadak langsung bertransformasi menjadi robot.

Menurut Slamet, kalau memang tidak ingin terlambat, bukankah bisa dihitung dari mulai jam berapa harus berangkat, berapa lama bersiap ke kantor sejak bangun tidur, dan jam berapa bangun tidur. Kalaupun sesekali terlambat, toh tidak membuat perusahaan jadi bangkrut, sehingga perusahaan tidak akan memecat karyawannya yang sekali saja terlambat.

'Tapi kalau ada perusahaan yang memang memecat karena sekali terlambat?' Nah, itu juga membuat Slamet bingung. Bukankah semuanya orang Indonesia. Jadi mesti punya Tuhan. Bukankah kalau kita terus berusaha, Tuhan akan memberi rezeki?

Selain itu, kalau memang terjadi sesuatu dan menyebabkan karyawan terlambat, maka perusahaan justru yang merugi. Slamet jadi teringat ketika seorang petinggi di bagian sumberdaya manusia yang menyatakan bahwa dia akan menyetir dengan sangat cepat kalau terlambat.

Slamet mengatakan ke bapak itu. Justru sebenarnya perusahaan merugi kalau terjadi apa-apa karena si bapak ngebut. Betapa tidak, harus memberi santunan kecelakaan, belum lagi urusan pemakaman dan memberi santunan pada keluarga yang ditinggal. Setelah itu, harus mencari pegawai baru untuk melaksanakan pekerjaan yang ditinggal si pegawai.

Slamet berkata, "Apa bapak nggak pengen mengantar anak perempuan bapak untuk menikah?" Sekarang gantian, si bapak yang bingung.

Minggu, 09 Oktober 2011

Saya Suka Kereta

Slamet pernah lama tinggal di Medan, Bandung dan Semarang. Bukan kota-kota yang di seluruh jalannya mengalami kemacetan. Maka ketika setahun yang lalu, ketika Slamet pindah ke Jakarta, dia memutuskan untuk mencari tempat tinggal di sepanjang jalur kereta.

Menurut Slamet, kereta tidak mengalami kemacetan sama sekali. Tentu saja, siapa yang akan menghalangi jalur kereta. Di Jakarta banyak orang yang sudah putus urat malunya, sehingga menggunakan jalur busway begitu saja, tanpa merasa bersalah. Maka buat Slamet, busway pun tidak terhindar dari kemacetan.

Mengapa harus menghindari macet? Slamet jenis orang yang agak sulit bangun pagi. Sehingga jadi masalah untuk berangkat lebih pagi dan berada di jalan saat masih lengang. Maka mau tidak mau, Slamet memilih untuk menggunakan kereta.

Oh ya, karena dia dijuluki Slamet Kereta, maka akan banyak ceritanya menyangkut kendaraan umum ini. Walaupun nanti akan ada beberapa cerita yang sama sekali tidak berkaitan dengan kereta, tapi Slamet tetap Slamet, suka dijuluki dengan nama Slamet Kereta.

Slamet tetap Slamet dan tidak mau kehilangan nama depannya itu, karena dia bangga menjadi astronot ke dua yang mendarat di bulan. Maka, Slamet mohon izin menyibukkan kalian dengan cerita-ceritanya ini. Tapi dibaca tidak dibaca, Slamet akan terus bercerita.

Ini Saya

Slamet Pujakesuma. Dia lebih suka dikenal dengan nama begitu. Sebenarnya ada nama panjang yang diberikan oleh orangtuanya. Tetapi Slamet bukan orang yang suka dikenal. Maka dia memilih nama Slamet Pujakesuma untuk dikenal siapapun kecuali orang-orang dari bagian sumberdaya manusia tempat dia bekerja.

Ya, kalian sudah tahu. Slamet lahir di Sumatera. Tepatnya di sebuah wilayah Kotamadya Pematang Siantar. Wilayah Tanah Jawa. Tapi dia dibesarkan di Kota Medan. Sampai SMA dia hidup di Medan. Jadi sah saja kalau dia menyatakan dirinya adalah putra Jawa kelahiran Sumatera, begitulah akronim Pujakesuma berasal.

Dia sangat ingin berpetualang ke banyak kota. Bukan kota-kota yang indah dan terkenal. Karena Slamet, seperti dirinya yang tidak terlalu suka terkenal, juga tidak suka hal-hal yang tekenal. Tapi perjalanan ke banyak kota di dunia adalah yang diinginkan Slamet.

Karena itu pula Slamet mendaftarkan diri pada saat ada peluang untuk mendapatkan pendidikan dengan ikatan dinas. Dan dari perjalanan hidup yang cukup panjang, inilah Slamet. Bekerja di Jakarta dan setiap hari naik kereta commuter berangkat maupun pulang kerja. Itulah yang menyebabkan dirinya dipanggil dengan nama Slamet Kereta.

Teman-teman di kantornya di Jakarta, merasa sudah terlalu banyak orang bernama Slamet. Sementara nama belakang Slamet dikenal sebagai Pujakesuma, dan sepertinya tidak ada yang percaya bahwa itu adalah nama belakang yang resmi. Maka teman-temannya memberinya gelar sesuai kendaraan yang suka dia naiki setiap hari kerja.